Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘bahasa’

FACEBOOK-BahasaApaBedanyaKataSirikDanSyirik

MASIH banyak orang Indonesia yang menyamakan pengertian “sirik” dan “syirik”. Padahal, kedua kata itu berbeda sangat jauh. Kesalahpahaman ini tidak hanya di kalangan masyarakat yang berpendidikan rendah, melainkan juga dimiliki oleh kalangan mahasiswa atau sarjana yang bergelar S1, S2 ataupun S3.

.
Apakah sirik itu?
Kalau kita search di Google, maka kita akan mendapatkan jawaban bahwa sirik adalah sikap iri, dengki, melihat orang lain mempunyai kelebihan yang dia tidak memilikinya. Sirik juga merupakan rasa tidak suka yang bersifat subjektif dan dari sudut agama Islam sirik juga merupakan penyakit hati sedangkan dari sudut psikologi merupakan kelainan kepribadian dan dari sudut ilmu logika merupakan cara berlogika yang negatif (negative thinking).

.
Contoh:
Si A merupakan sarjana, alumni dari 6 (enam) perguruan tinggi. Si B hanya lulusan 1 (satu) perguruan tinggi. Tiap kali Si B bertemu dengan Si A, selalu saja bicaranya menyalahkan, mengolok-olok, mencaci-maki dan bahkan melecvehkan. Juga selalu membodoh-bodohkan Si A dan selalu pendapat Si B-lah yang benar. Dalam hati, Si B memang pernah ingin kuliah lagi di perguruan tinggi lain, tetapi karena orang tuanya tidak mampu membiayainya, maka Si B menaruh rasa sirik (iri,dengki) kepada Si A.

.

Sirik tanda tidak mampu

Seorang Facebooker mencari kalimat “Sirik tanda tidak mampu” di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) dan Wikipedia. Ternyata tidak ada. Lantas Facebooker tersebut  menyalahkan penulis artikel ini. Facebooker itu tidak tahu apa fungsi kamus. Kamus itu memuat “kata” ,”sinonim kata”, “padanan kata” atau “arti kata”. Tepatnya sebuah kata. Sedangkan “Sirik tanda tidak mampu” merupakan kalimat. Merupakan ungkapan. Merupakan “real language” Merupakan ungkapan yang nyata-nyata ada di masyarakat. Tentu saja di kamus tidak ada.

.
Apakah syirik itu?
Umat Islam pasti tahu arti kata syirik. Yaitu mempersekutukan Tuhan. Menganggap ada kekuasaan lain di samping Tuhan. Percaya bahwa ada kekuatan mistik yang ada di sebuah benda.

.
Pengertian lainnya
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah disamping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a dan sebagainya kepada selainNya. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Syirik).

.

Contoh:
Di samping percaya Tuhan, juga percaya bahwa keris yang dimilikinya mempunyai keguatan magis yang bisa melindungi dirinya. Padahal, kalau ingin dirinya dilindungi, lebih baik berdoa meminta kepada Tuhan agar Tuhan senantiasa melindungi dirinya. Itu tidak dilakukan. Justru percaya kepada kekuatan lain, yaitu keris. Benda mati. Orangnya disebut orang musyrik.

.
Contoh lain:
-Menyembah kepada selain Allah
-Meminta kepada selain Allah SWT misalnya meminta kepada malaikat dan Nabi Muhammad Saw
-Minta syafaat kepada kyai atau kepada orang yang sudah meninggal
-Minta rezeki, keselamatan dan lain-lain di kuburan (termasuk di kuburan Rosulullah saw)
-Memasang jimat, susuk, percaya zodiac, mendatangi peramal, pergi ke dukun, sesajen
-Riya’ yaitu pamer dan ingin dipuji oleh manusia, misalnya sholat dan mengaji yang tujuannya agar dipuji oleh teman atau manusia yang melihatnya.
-Bersumpah selain nama Allah SWT contohnya : Demi Kehormatanku, Demi Cintaku Padamu, Demi Waktu dan lain-lain.
-Mengganggap sial, contoh jika seorang akan bepergian maka dia melepaskan seekor burung dan mengamatinya. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka dianggap pertanda baik, sehingga orang tersebut melaksanakan niatnya untuk bepergian, begitu pula sebaliknya.
-Tamimah (jimat) adalah benda yang digantungkan atau dikalungkan pada anak kecil atau jimat yang digantungkan didalam rumah atau yang sejenisnya, yang digunakan untuk melindunginya dari bencana, baik untuk mengangkat bencana atau menolak bencana.
-Menyekutukan Allah dan mahluknya, contoh saya sembuh karena pertolongan Allah dan berkat pertolongan Si Fulan (Sumber: http://bloggerbondowoso24.blogspot.com/2013/06/macam-macam-perbuatan-syirik-yang-harus.html).

.
Catatan
Tidak benar kata “sirik” merupakan plesetan dari kata “syirik”. Di beberapa daerah, terutama Sunda, sudah ratusan tahun yang lalu ada kata “sirik”. Bahkan Jayabaya, Raja dari Kerajaan Kadiri, juga sudah menggunakan kata “sirik” (Contoh: sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan).

.
Hariyanto Imadha
Pengamat Perilaku
Sejak 1973

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaMacamMacamPrediksi

PREDIKSI. Kata atau istilah ini bisa menimbulkan berbagai persepsi. Bahkan bisa juga bermakna ganda atau multi tafsir. Tidak heran kalau di masyarakat terjadi tumpang tindik di dalam mengartikannya. Kata “prediksi” bisa menjadi bias. Bahkan bisa menyebabkan kerancuan arti di kalangan masyarakat. Juga, bisa mengakibatkan masyarakat salah tafsir. Apa sih sebenarnya arti, makna dan macam-macam prediksi?

Apakah arti prediksi itu?

Secara umum, prediksi bisa diartikan sebagai sebuah kegiatan meramalkan atau membuat sebuah prakiraan tentang segala sesuatu yang akan terjadi.

Apakah makna prediksi itu?

Prediksi punya makna sebagai sebuah informasi, pemberitahuan, peringatan, pengetahuan,ulasan tetang segala sesuatu yang akan terjadi berdasarkan fakta maupun tidak berdasarkan fakta.

Macam-macam prediksi

Secara umum ada beberapa macam prediksi.

1-Prediksi berdasarkan teknologi

2-Prediksi berdasarkan ilmu pengetahuan

3-Prediksi berdasarkan pengetahuan

4-Prediksi berdasarkan teori probabilitas

5-Prediksi berdasarkan analisa

6-Prediksi berdasarkan indera keenam

7-Prediksi berdasarkan ilmu kira-kira

8-Prediksi berdasarkan ilmu semu

9-Prediksi berdasarkan perilaku binatang

10-Prediksi berdasarkan perilaku alam

Dan masih banyak macam prediksi lainnya.

Ad.1-Prediksi berdasarkan teknologi

Teknologi dan sains memang saling berkaitan. Namun maksud dari sub-bab ini adalah, membuat sebuah prediksi berdasarkan bantuan dari peralatan atau teknologi.

Contoh:

Di dalam menentukan akan datangnya 1 Ramadhan maupun 1 Syawal, bisa menggunakan pendekatan teknologi dan sain. Yaitu, menggunakan teropong moderen didukung oleh perhitungan-perhitungan ilmiah yang akurat terutama yang berhubungan dengan astronomi sehingga memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.

Ad.2-Prediksi berdasarkan ilmu pengetahuan

Yaitu preiksi berdasarkan semata-mata ilmu pengetahuan saja tanpa didukung peralatan atau teknologi yang canggih. Hanya berdasarkan perhitungan-perhitungan ilmu pengetahuan yang berlaku saat itu. Berdasarkan teori-teori yang dianggap benar saat itu.

Contoh:

-Teori Geosentris yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat perputaran seluruh planet yang ada di alam semesta

-Teori heliosentris yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat perputaran dari seluruh planet yang ada di alam semesta.

Ad.3-Prediksi berdasarkan pengetahuan

Yaitu prediksi berdasarkan pengetahuan umum (bukan berdasar ilmu pengetahuan) yang berlaku umum.

Contoh:

-Menjelang Hari Raya Qurban, maka diprediksikan harga-harga hewan korban akan naik sekitar 10% hingga 50%. Hanya merupakan estimasi berdasarkan pengalaman tahun lalu dan pertimbangan situasi-kondisi saat itu.

Ad.4-Prediksi berdasarkan teori probabilitas

Yaitu prediksi berdasarkan data-data yang dikumpulkan dalam waktu periode tertentu sehingga bisa diprediksikan kejadian yang akan datang. Biasanya didukung data-data yang ada didukung perhitungan yang menggunakan ilmu statitistik dan metode statistik tertentu.

Contoh:

Berdasarkan data pemasaran mobil di Jakarta tahun 2010, 2011, 20012, 2013, 2014 dan menggunakan metode statistik atau metode probabilitas, bisa diprediksikan hasil pemasaran mobil di Jakarta untuk tahun 2015. Tentu, disertai beberapa asumsi tertentu.

Ad.5-Prediksi berdasarkan analisa

Yaitu prediksi berdasarkan analisa ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya analisa ekonomi, analisa hukum, analisa psikologi dan analisa-analisa lainnya.

Contoh:

Berdasarkan “body language” (bahasa tubuh) berupa gerakan tubuh, mimik wajah, cara berbicara, kalimat-kalimat yang bersifat diplomasi, tulisan, cara berkata, cara menjawab pertanyaan, kemudian dianalisa berdasarkan analisa “psikologi-politik”, maka bisa diprediksikan Megawati-lah yang akan jadi capres pada pemilu 2014 dan bukannya Jokowi.

Ad.6-Prediksi berdasarkan indera keenam

Yaitu prediksi berdasarkan indera keenam (intuisi, firasat, sinyal-sinyal psikologis, kode-kode metafisika) yang merupakan bagian dari ESP (Extra Sensory Perception) yang muncul secara tiba-tiba (tidak direncanakan, tidak disengaja, tidak atas permintaan orang lain dan tidak atas pertanyaan orang lain), maka seseorang bisa memprediksikan apa yang akan terjadi di masa dekat, beberapa bulan mendatang atau bahkan beberapa puluh/ratus tahun yang akan datang). Biasanya dimiliki orang jenius, IQ tinggi atau manusia indigo.

Contoh:

Ramalan Jayabaya (Raja Kediri) yang mampu meramalkan suatu ketika Pulau Jawa akan memiliki rel kereta api, pesawat terbang, super market dan prediksi-prediksi yang terjadinya puluhan atau ratusan tahun kemudian.

Ad.7-Prediksi berdasarkan ilmu kira-kira

Yaitu prediksi yang bedasarkan ilmu kira-kira saja. Asal bicara. Asal ngomong.

Contoh:

Prediksi dukun yang mengatakan Si A akan dapat rejeki pada Rabu Pahing. Ternyata, meleset.

Ad.8-Prediksi berdasarkan ilmu semu

Yaitu prediksi yang dibuat berdasarkan ilmu semu di mana hasilnya sangat rekatif sekali karena hasil prediksi peramal yang satu dengan peramal lainnya bisa bebeda-beda. Ilmu semu adalah ilmu yang tidak menggunakan metode-metode ilmiah empiris.

Contoh:

Ramalan bintang, ramalan shio, ramalan letak tahi lalat, ramalan feng shui, ramalan berdasarkan kartu Tarot, ramalan berdasaran garis tangan, ramalan berdasarkan bentuk tanda tangan dan berdasar ilmu-ilmu semu lainnya.

Ad.9-Prediksi berdasarkan perilaku binatang

Yaitu prediksi berdasarkan perilaku binatang-binatang tertentu pada suatu saat tertentu atau kejadian tertentu akan terjadinya sesuatu kejadian.

Contoh:

Beberapa hari sebelum terjaadinya gempa mumi gunung berapi, banyak binatang yang tiba-tiba berlarian turun ke bawah. Bisa diprediksikan bahwa dalam waktu dekat akan terjadi gempa bumi vulkanik.

Ad.10-Prediksi berdasarkan perilaku alam

Yaitu prediksi berdasarkan perilaku alam.

Contoh:

Perilaku angin, awan , arah angin, jumlah awan dan semacamnya bisa dibuat prediksi tentang iklim, cuaca, hujan ataupun akan datangnya angin puting beliung, topan torpedo dan prediksi lainnya.

Semoga bermanfaat.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaBukanBeaSiswaTetapiBeaMahasiswa

TERLALU sering kita membaca frasa kata “bea siswa” yang berupa pengumuman yang ditempel di dinding-dinding kampus. Atau kadang-kadang ketua kelas mengumumkan tentang adanya “bea siswa” bagi para mahasiswa. Kelihatannya tidak ada yang aneh dan semua kata yang tertulis maupun yang diucapkan dianggap benar, termasuk kata “bea siswa”. Selama puluhan tahun masyarakat Indonesia, termasuk yang bergelar S1, S2, S3 dan bahkan yang berpredikat sering dan selalu mengucapkan kata “bea siswa” untuk para mahasiswa. Salah kaprah itu berlanjut terus entah sampai kapan.

Siswa

Siswa adalah sebutan untuk mereka yang belajar di tingkat TK, SD,SMP dan SMA atau yang sederajat.

Mahasiswa

Adalah sebutan untuk mereka yang belajar di akademi sekolah tinggi atau universitas untuk tingkat D1, D2, D3, S1, S2 maupun S3.

Bea siswa

Bea siswa adalah bantuan untuk para siswa TJ, SD, SMP maupun SMA yang biasanya berupa uang tunai, fasilitas atau bantuan pendidikan lainnya dan biasanya atas pertimbangan ekonomi yang lemah tetapi siswa termasuk kategori pandai.

Bea mahasiswa

Bea siswa adalah bantuan untuk para mahasiswa, baik program D1, DF2,D3, S1, S2 maupun S3 yang biasanya berupa uang tunai, fasilitas atau bantuan pendidikan lainnya dan biasanya atas pertimbangan ekonomi yang lemah tetapi siswa termasuk kategori pandai.

Semoga kebiasaan yang salah itu bisa berubah menjadi kebiasaan yang benar.

Hariyanto Imadha
Pecinta Ilmu Bahasa
Sejak 1973

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaMaknaGelarSarjanaDariWaktuKeWaktu

ORANG Indonesia yangmempunyai gelar sarjana sudah cukup banyak. Begitu banyaknya sampai seperti sampah. Berserakan di mana-mana. Apalagi masyarakat tahu untuk mendapatkan gelar sarjana tidaklah sulit. Asal bayar, asal ikut kuliah, asal ikut seminar, asal membuat skripsi dan asal ikut mengikuti ujian sarjana dan asal ikut wisuda, maka dapatlah gelar sarjana. Bahkan juga sudah banyak yang tahu, gelar S1, S2 dan S3 bisa dibeli. Bisa juga gelar diperoleh dengan mudah karena alasan persamaan politik maupun persamaan agama. Hal ini tidak perlu dibantah lagi. Percuma.

Perkembangan makna gelar sarjana dari waktu ke waktu

Secara berurutan, gelar sarjana mempunyai perubahan makna sebagai berikut.

1.Sebagai manifestasi kualitas

2.Sebagai manifestasi tanda kelulusan

3.Sebagai manifestasi status sosial

4.Sebagai manifestasi feodalisme moderen

5.Sebagai manifestasi narsisme

6.Sebagai manifestasi egosentrisme

7.Sebagai manifestasi ngeyelisme

8.Sebagai manifestasi tumpulnya logika

9.Sebagai manifestasi kebodohan permanen

10.Sebagai manifestasi psikopat ringan

Ad.1.Sebagai manifestasi kualitas

Dulu, gelar sarjana merupakan  manifestasi dari kualitas atau pendidikan yang bermutu. Saat itu ada jaminan, orang yang punya gelar sarjana pastilah benar-benar pandai, benar-bener menguasai bidang ilmunya, mampu bernalar secara baik dan mampu bekerja dengan baik sesuai bidang ilmunya. Pada tahap ini, gelar sarjana merupakan manifestasi daripada kepandaian dari sarjana yang bersangkutan.

Ad.2.Sebagai manifestasi tanda kelulusan

Perkembangan selanjutnya, bermunculan perguruan tinggi swasta. Ada yang berkualitas dan ada yang tidak berkualitas. Sehingga lambat laun, gelar sarjana tidak lagi merupakan manifestasi dari kualitas, melainkan hanya sebagai tanda kelulusan saja.

Ad.3.Sebagai manifestasi status sosial

Dengan semakin banyaknya penduduk, maka orang-orangpun berlomba-lomba mencari status sosial. Mulai dari berusaha mendapatkan gelar haji, juga berlomba-lomba mendapatkan gelar sarjana. Tujuannya yaitu supaya diharga masyarakat sekitarnya. Sampai-sampai, gelar sarjanapun ditulis di dalam undangan pernikahan, padahal penikahan bukanlah kegiatan ilmiah Sebuah cara yang keliru tentunya. Tetapi, itulah yang dilakukan masyarakat kita. Bahkan gelar sarjana bisa diperoleh dengan mudah. Asal bayar dapat gelar sarjana. Bahkan sudah menjadi rahasia umum gelar sarjana bisa dibeli..

Ad.4.Sebagai manifestasi feodalisme moderen

Kehidupan yang semakin komplek menyebabkan orang berlomba-loma mempunyai gelar sarjana sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya. Pamer gelarpun membudaya. Gelarnya ditulis di mana-mana. Di kartu nama, di brosur, di spanduk, di baliho, di koran, di blog atau website, di  Twitter, di KTP, di SIM dan di mana saja. Tujuannya supaya dianggap orang pintar. Supaya dianggap orang hebat. Supaya dianggap “lebih”. Rasa “superioritas” yang berlebihan.

Ad.5.Sebagai manifestasi narsisme

Dari sudut psikologi, orang yang punya gelar sarjanapun cenderung berkepribadian narsisme. Tanpa ditanyapun dia akan memperkenalkan atau menunjukkan dirinya sarjana. Tanpa ditanya dia akan bercrita kalau dia punya gelar S1, S2 dan S3. Cenderung memuji dirinya sendiriapa-apa. Menulis artikelpun tidak pernah. Mengamalkan ilmunya juga tidak pernah. Hanya untuk kesombongan dirinya sendiri saja.

Ad.6.Sebagai manifestasi egosentrisme

Lebih parah lagi, tahap berikutnya tidak Cuma berkepribadian narsisme, tetapi telah menjadi pribadi egosentrik. Merasa pendapatnya sendiri yang benar. Tidak mau menerima pendapat orang lain yang benar atau lebih benar. Mereka selalu mengatakan memakai gelar atau tidak memakai gelar adalah hak pribadi. Mereka lupa bahwa telanjang di jalan raya juga hak pribadi. Mereka juga lupa bahwa memakai baju dan celana terbalik juga hak pribadi. Mereka tidak tahu, masalahnya bukan hak pribadi atau bukan hak pribadi, tetapi menyangkut persoalan “benar” atau “tidak benar”.

Ad.7.Sebagai manifestasi ngeyelisme

Orang yang punya gelar sarjanapun kepribadiannya meningkat menjadi perilaku negatif. Antara lain suka ngeyel. Bukan hanya suka merasa benar sendiri tetapi cenderung mudah menyalahkan pendapat orang lain. Kalau dikritik suka ngeyel.

Ad.8.Sebagai manifestasi tumpulnya logika

Fakta menunjukkan bahwa banyak sarjana yang logikanya tumpul. Hal ini muncul di era istilah S1, S2 dan S3. Banyak sarjana, sesudah mendapatkan gelar S2, maka dia memakai gelar S1 dan S2 sekaligus. Jika dia mendapatkan gelar S3, maka gelar S1,S2 dan S3 dipakai sekaligus. Padahal menurut ilmu logika, kalaau suda S2, maka S1 tidak perlu dipakai. Kalau sudah S3, maka S1 dan S2 tidak perlu dipakai. Walaupun bidang ilmunya berbeda atau fakultas atau universitasnya berbeda, tetap gelar tertinggi yang harus dipakai. Sebab huru “S” pada S1,S2 dan S3 artinya “Strata” atau jenjang atau tingkatan. Ibaratnya di militer, kalau sudah LetKol, maka Kol dan yang dipakai adalah Kol dan bukannya memakai pangkat LetKolKol. Namun, orang yang tumpul logikanya, cenderung ngeyel.

Ad.9.Sebagai manifestasi kebodohan permanen

Gelar Sq1,S2,S3 ternyata menyebabkan orang menjadi bodoh permanen. Tidak tahu lagi kalau memakai gelar Sq1,S2 dan S3 sekaligus itu salah. Mengalaami krisis penalaran. Tidak tahu lagi mana yang benar dan salah secara objektif. Baginya kebenaran hanya menurut pendapatnya sendiri. Tidak tahu lagi ilmu logika itu apa.

Ad.10.Sebagai manifestasi psikopat ringan

Orang yang bergelar banyak atau bergelar tinggi, kalau tidak didukung pengetahuannya tentang psikologi dan ilmu logika, maka akan terjebak pada kelainan kepribadian yang mempunyai ciri-ciri antara lain suka berbohong, bersifat manipulatif dan hati nuraninya mulai tumpul (without conscience). Ini adalah makna gelar sarjana yang paling parah karena mengubah pribadi orang ke arah yang negatif. Celakanya, pengidap psikopat ringan, sangat sulit disembuhkan. Gelar sarjana telah berubah menjadi manifestasi kebodohan berlogika.

Kesimpulan

Kalau pada awalnya, gelar sarjana merupakan manifestasi kepandaian, namun pada akhirnya gelar sarjana justru merupakan manifestasi daripada kebodohan dalam berlogika.

Solusi

Sikap terbaik yaitu, tidak perlu memakai gelar sarjana. Biarkan oraang menilai kita apa adanya. Biarkan orang lain menilai pendapat-pendapat kita. Tidak perlu kita menipu orang lain dengan gelar-gelar yang dimiliki. Sarjana yang cerdas dan bermoral adalah sarjana yang bersikap “low profil”.

Catatan

Gelar sarjana sebaiknya dipakai untuk hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ilmiah atau sebagai profesi. Misalnya saat melakukan penelitian ilmiah. Saat diskusi atau seminar ilmiah.Saat bertugas atau berprofesi sebagai tenaga profesi. Itupun cukup memakai gelar yang tertinggi saja atau gelar yang relevan sesuai dengan jeniis aktivitasnya. Di luar itu, gelar sarjana tidak perlu digunakan. Maklum, jaman sekarang banyak sarjana yang logika dan hati nuraninya tumpul.

Semoga bermanfaat.

Catatan:

Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen

Hariyanto Imadha

Pengamat perilaku

Sejak 1972

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaMembacaArtikelDiFacebookDanKompasianaSerasaMembacaSurat

MEMBACA dan menulis adalah hobi saya sejak saya dapat membaca menulis di bangku SD. Mulai menulis artikel mulai di SMA (di bulletin SMA) dan di perguruan tinggi (di buletin perguruan tinggi). Kemudian di berbagai surat kabar. Namun, dengan berkembangnya internet, maka blog/website merupakan sarana yang baik untuk mengekspresikan diri baik berupa opini, gagasan, puisi, cerpen, novel artikel dan semacamnya.

Ada beberapa hal berhubungan dengan sebuah artikel.

Antara lain:

1.Tidak menyebutkan sumber

2.Artikel yang baik

3.Serasa membaca surat

Ad.1.Tidak menyebutkan sumber

Yang memprihatinkan adalah, banyaknya artikel yang memuat foto atau gambar tetapi tidak menyebutkan dari mana sumbernya. Bahkan kutipan-kutipanpun tidak jelas dikutip dari mana. Padahal sebuah artikel haruslah mengandung kejujuran.

Ad.2.Artikel yang baik

Sepanjang saya membaca artikel-artikel yang ditulis oleh penulis-penulis kenamaan, rata-rata tulisannya cukup sistematis. Ada judul, ada sub judul atau outline atau tepatnya ada sistimatika penulisan. Dengan demikian sebuah artikel merupakan penjabaran daripada judul artikel itu sendiri. Lebih bagus lagi kalau ada definisi walaupun itu menurut versi penulisnya sendiri. Tidak sulit, hanya membutuhkan kebiasaan saja.

Ad.3.Serasa membaca surat

Namun lambat laun saya merasakan ada sesuatu yang berbeda kalau saya membaca artikel-artikel yang ditulis di Facebook, Kompasiana maupun di berbagai blog/website. Sebagian besar artikel-artikel itu ditulis dengan gaya “surat”. Seperti manifestasi segala pikiran dan segala unek-unek. Bahkan kadang-kadang apa yang ditulis ternyata ditulis lagi. Terkadang logikanya tidak runtut, melompat ke sana melompat ke sini. Maksudnya, setelah judul, langsung nyelonong uraian tanpa alinia pembuka, definisi (jika perlu) maupun subjudul/outline ataupun sistimatika uraian.

Beberapa kelemahan yang dimiliki beberapa penulis

Beberapa penulis terutama penulis pemula mempunyai beberapa kelemahan.

Antara lain:

-Tidak mempersiapkan bahan-bahan untuk ditulis

-Menulis spontanitas tanpa perencanaan bahkan terkesan tergesa-gesa

-Reaktif dan terkadang emosional (kadang-kadang mencela karya tulis orang lain, bahkan mencela penulis artikelnya).

-Pemilihan kata-kata yang kurang elegan

-Tidak ada sesuatu yang baru (something new)

-Tidak merupakan pencerahan

-Sudut pandangnya kurang/tidak jelas

-Tidak didukung argumentasi atau minimnya penalaran

-Seringkali tanpa diedit

-Mengulang kalimat yang intinya sama saja

Gaya penulisan

Tiap penulis justru dituntut mempunyai gaya penulisan masing-masing termasuk gaya bahasa maupun pemilihan kata-kata. Namun tidak berarti sebuah artikel harus mencerminkan watak daripada penulisnya (artikel yang emosional biasanya cermin dari penulis yang emosional) melainkan harus merupakan kalimat-kalimat netral. Tidak terkesan snob (sok tahu, sok mengerti atau sok pintar). Tidak perlu mempersoalkan hal-hal yang bersifat remeh temeh. Sebuah artikel juga harus merupakan uraian yang runtut dan ada keterkaitannya. Dan yang penting, sebuah artikel janganlah mirip sebuah surat yang sekadar merupakan manifestasi daripada unek-unek, tanpa sub judul, outline ataupun sistimatika uraian.

Bagaimana menulis artikel yang baik dan benar

Terlalu panjang untuk diuraikan dalam artikel ini. Bisa dicari di Google dan terdapat banyak artikel yang membahas hal ini.

Syukurlah, tidak semua artikel di Facebook dan Kompasiana berbentuk “surat”.

Semoga bermanfaat

Catatan:
Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen

Hariyanto Imadha

Penulis kritik pencerahan

Sejak 1973

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaTidakAdaGunanyaBerdebatSoalKataIstilahAtauDefinisi

ORANG Indonesia, ada yang suka sekali berdebat, mempertahankan pendapat, seolah-olah pendapatnya sendirilah yang benar. Apalagi kalau soal kata, istilah atau definisi. Kata, istilah atau definisi “kafir” saja bisa bermacam-macam. Ada belasan dan bisa puluhan pengertian. Ada yang sama, ada yang mirip dan tentunya banyak yang berbeda, baik sudut pandang, sudut persepsi, sudut pemahaman maupun sudut logikanya. Tanpa disadari, mereka terjebak pada “The Problem of Semantics” yang tidak ada gunanya karena sampai kapanpun tidak akan ada titik temunya. Justru bisa menimbulkan sikap “snob” (sok tahu, sok mengerti dan sok pandai).

Apakah kata, istilah atau definisi itu?

Ada yang menyamakan kata, istilah atau definisi. Tidak apa-apa. Tetapi di dalam artikel ini perlu kami bedakan.

Kata, adalah kumpulan huruf yang mengandung arti dan berfungsi menggantikan sesuatu objek pembicaraan. Misalnya “dingin”, “cinta”,”meja”,”langit” dan lain-lainnya.

Istilah, adalah kata yang lebih bersifat teknis. Memerlukan uraian pendek. Misalnya “konsekuen”, “konsisten”, “paradok”,”kontroversi” dan semacamnya.

Definisi, yaitu uraian yang berusaha memberikan penjelasan tentang arti daripada sebuah kata atau istilah dari sudut pandang, sudut persepsi atau sudut pemahaman masing-masing orang pada umumnya dan masing-masing penulis pada khususnya.

Mana yang benar mana yang salah?

Biasanya, kalau terjebak pada perdebatan soal kata, istilah atau definisi, maka orang akan memperdebatkan mana yang “benar” dan mana yang “salah”.

Wilayah logika bahasa

Kalau sudah mencakup soal “benar” atau “salah”, maka itu sudah memasuki bidang “linguistics” (ilmbu bahasa) dan “logics” (ilmu tentang kebenaran.

Apakah linguistics itu?

Linguistics adalah ilmu yang mempelajari bahasa, meliputi phonetics, etimology, phonemics, semantics, usage, idioms, intonation, dan lain-lainnya.

Apakah logics itu?

Logics adalah ilmu tentang cara berpikir yang benar dan yang salah baik secara silogisme maupun secara epistemologis.

Apakah logika bahasa itu?

Yaitu gabungan antara ilmu logika dan ilmu bahasa yang bertujuan untuk mencari arti yang benar dari sebuah kata, istilah maupun definisi

Apa ukuran kebenaran daripada sebuah kata, istilah atau definisi?
Yang pasti haruslah ada referensi, terutama referensi tertulis yang diakui secara internasional. Antara lain dictionary atau kamus internasional semisal Webster Dictionary, Oxford Dictionary ataupun kamus lokal berupa KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) atau semacamnya. Jika tidak ada maka berdasarkan hasil survei di Google sejauh itu dianalisa terlebih dulu dari sudut pandang ilmu bahasa maupun ilmu logika.

Terjebak pada The Problem of Semantics

Seringkali tak disadari, orang akan terjebak pada “The Problem of Semantics”. Terjebak pada makna kata, apalagi kalau dikaitkan dengan simbol-simbol.

Contoh:

Kata “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” disimbolkan empat buat “tiang” berderet-deret secara paralel. Bisa dimaknai, tiang pertama adalah Pancasila, kedua adalah UUD 1945, ketiga adalah NKRI dan keeempat adalah Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan persepsi pertama.

Persepsi  “lantai” dan “tiang”
Ada yang mengatakan, Pancasila itu bukan “pilar” tetapi harus ,merupakan “dasar negara”, oleh karena itu Pancasila letaknya harus di “bawah”-nya pilar-pilar itu.

Persepsi anak tangga

Seharusnya dismbolkan sebagai tangga. Tangga paling bawah Pancasila, atasnya UUD 1945,atasnya lagi NKRI dan paling atas Bhineka Tunggal Ika.

Persepsi piramida

Ada yang mengatakan, seharusnya Pancasila paling atas, di bawahnya UUD 1945,dibawahnya lagi NKRI dan paling bawah Bhineka Tunggal Ika.

Dan masih ada persepsi-persepsi lain yang antara lain ingin memasukkan unsur GBHN dan unsur-unsur lainnya.

Analogi : Sebuah buku novel dibaca 1.000 orang.

Kita andaikan kita bagikan sebuah novel berjudul “Di Telaga Sarangan Pernah Ada Cinta” dan dibaca oleh seribu orang. Sesudah dibaca, kita tanya bagaimana pendapat mereka tentang novel itu. Pastilah, akan ada pendapat yang berbeda-beda walaupun ada juga yang mirip, agak mirim atau sama yang pasti tidak mungkin sama 100%. Sungguhnya, pendapat  siapa yang paling benar? Tentunya pendapat penulis novel itulah yang paling benar sebab sumber idenya berasal dari otak penulis itu.

Harus diuji melalui epistemologi

Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kebenaran secara material, faktual, realistis, objektif berdasarkan data, fakta maupun referensi yang nilainya lebih tinggi. Merangkum semua sudut pandang, persepsi dan pemahaman.

Perlu pendekatan filsafat bahasa

Fiilsafat adalah ilmu yang mempelajari titik tolak pemikiran, alur pemikiran dan implikasi pemikiran. Oleh karena itu soal kata, istilah atau defisini, terutama kata, istilah atau definisi “pilar” juga perlu memahami filsafat berpikirnya si pencetus kata-kata “Empat Pilar Berbangsa Dan Bernegara”. Harus kita pahami titik tolak pemikirannya, alur pemikirannya dan implikasi pemikirannya.

Tidak ada gunanya berdebat dan saling menyalahkan

Dengan demikian, karena satu kata, istilah atau deskripsi, bisa diartikan, dipersepsikan atau dipahami dari sudut pandang yang berbeda, maka perdebatan tentang kata, istilah atau definisi merupakan perdebatan yang tidak ada gunanya. Inilah yang disebut dengan kalimat “The problem of semantics”. Yang memang tidak ada gunanya, buang-buang waktu, karena masing-masing pihak ngeyel dan tidak akan ada titik temunya. Oleh karena itu sebaiknya masalah kata, istilah,definisi kita kembalikan saja ke referensi yang valid, bertaraf internasional atau didukung linguistics dan logics yang benar. Dengan demikian akan kita peroleh kebenaran tingkat tinggi.

The aurhority of the author

Ada prinsip di dalam dunia tulis menulis, yaitu seorang penulis artikel, buku dan lain-lainnya mempunyai wewenang untuk membuat definisi maupun deskripsi tentang sesuatu hal sesuaai dengan sudut pandang, persepsi atau pemahaman masing-masing penulisnya. Asal, definisi itu harus dijadikaan alur pembahasannya yang mengandung implikasi-implikasi yang logis dan benar.

Solusi

1.Tanyakan langsung ke penulisnya

2.Tanyakan langsung ke sumbernya

3.Baca definisi atau deskripsi yang dibuat oleh penulisnya

4.Cari referensi bertaraf internasional

5.Analisalah menggunakan linguistics (ilmu bahasa), logics (ilmu logika) dan philosopy (ilmu filsafat)

Kesimpulan

Berdebat soal kata, istilah atau definisi tanpa didukung pengetahuan Linguistics dan Logics, tentu akan terasa kurang berbobot. Artinya, perlu pendekatan interdisipliner ataupun multidisipliner. Tidak cukup cuma secara monodisipliner saja.

Hariyanto Imadha

Pengamat perilaku bahasa

Sejak 1973

Read Full Post »

FACEBOOK-BahasaBedaArtikelOpiniDenganArtikellmiah

SAYA pernah menulis sebuah artikel di salah satu blog/website/portal dengan judul “75% Komentar di Blog/Website/Portal Tergolong Tidak Berkualitas” yang terbukti mengundang banyak tanggapan, sebab artikel tersebut memang saya desain sebagai artikel yang “memancing” munculnya komentar-komentar. Beberapa di antaranya bertanya, darimana asal angka 75% itu? Bahkan ada yang mengatakan hal—hal yang berhubungan dengan metode ilmiah. Padahal, artikel tersebut sangat jelas saya masukkan dalam kategori “Opini” sesuai dengan kategori yang tersedia di blog/website/portal tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa masih ada beberapa pembaca yang tidak bisa membedakan pengertian “artikel opini” dengan “artikel ilmiah”

Apakah artikel opini itu?

Opini adalah pendapat, gagasan atau pikiran. Artikel opini yaitu pendapat, gagasan atau pikiran yang bersifat pribadi terhadap sebuah objek yang dijabarkan dalam bentuk uraian agak panjang yang bernama artikel di mana hal tersebut bersifat bebas, rasional dan objektif disertai argumentasi berdasarkan fakta yang didukung  format berlogika yang logis dan benar.

Artikel opini bersifat objektif karena merupakan persentuhan antara subjek dan objek sehingga menghasilan sebuah pengetahuan yang kemudian dideskripsikan ataupun diuraikan menjadi sebuah susunan kalimat-kalimat yang bersifat menjelaskan pendapat, gagasan maupun pikiran tersebut.

Sebuah artikel opini bukanlah artikel ilmiah murni, melainkan sebuah karya ilmiah populer yang betapapun juga tetap mengacu pada referensi-referensi pemikiran yang berlaku. Artinya, betapapun juga artikel opini tetap berangkat dari fakta-fakta yang ada yang dicetuskan alam bentuk gaagasan ataupun pendapat.

Sebuah artikel opini, mempunyai ciri relatif-objektif sehingga uraiannya bersifat relatif. Misalnya angka 75% bukanlah hasil daripada perhitungan ilmiah melainkan merupakan pengganti dari kata “banyak”. Banyak itu berapa? Kira—kira 75%, sebuah angka estimaasi yang dibuat berdasarkan pengamatan. Sifatnya empiris-nonfisik.

Artikel opini biasanya dimuat dalam media nonilmiah semisal media sosial Twitter, Facebook, blog/website/portal yang menyediakan fasilitaas opini.

Contoh:

1.Buku berjudul “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis, seorang budayawan, merupakan buku/artikel yang bersifat opini berdasarkaan pengamatan yaang dilakukaannya. Benar tidaknya isi buku itu tentunya bisa dilihat pada masyarakaat Indonesia secaara langsung.

2. Artikel saya berjudul: “75% Komentar di Blog/Website/Portal Tergolong Tidak Berkualitas” berdasarkan haasil pengamatan (bukan penelitian) selama tiga bulan.

Apakah artikel ilmiah itu?

Imiah adalah serangkaian proses mulai dari sebuah pendapat, penelitian,analisa,metode hingga dalam bentuk uraian yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Jadi, arttikel ilmiah adalah sebuah artikel berdasarkan metode ilmiah yang uraiannya bersifat sistematis, empiris, bisa dibuktikan kebenarannya, objektif, rasional dengan menggunakan metode penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Artikel ilmiah juga bisa menggunakan angka-angka statistik dalam bentuk tabel maupun nontabel, yang menggambarkan suatu objek pembahasan hasil daripada sebuah penelitian baik bedasarkan sampel maupun populasi. Biasanya juga disertai standar deviasi maupun standar error.

Artikel ilmiah bisa saja hasilnya berbeda apabila menggunakan metode yang berbeda yang merupakan cara berbeda dan persepsi yang berbeda, walaupun objek penelitiannya sama. Jadi, kebenaran dari sebuah artikel ilmiah juga dipengaruhi oleh kualitas daripada sampel maupun populasi serta metode yang digunakannya.

Sebuah artikel imiah pada umumnya dibuat oleh kalangan mahasiswa, sarjana, akademisi maupun para ilmuwaan. Bahkan juga dibuat oleh para peneliti  maupun pakar di bidangnya.

Artikel ilmiah biasanya ditulis di dalam media ilmiah juga. Misalnya majalah atau buletin ilmiah, jurnal ilmiah dan bentuknya bisa berupa makalah, skripsi, disertasi, thesis dan bentuk-bentuk ilmiah lainnya.

Contoh:
1.Skripsi berjudul:” Pengaruh Pengumuman Dividend Terhadap Nilai Saham Pada Perusahaan Property Dan Real Estate Yang Telah Go Public Ditinjau Dari Metode Event Studi”

2.Skrisi saya berjudul: “Environtment Has More Effects Than Heredity : A Psychological Approach”.

Salah persepsi

Sebuah artikel opini haruslah dinilai dari sudut argumentasi atau penalarannya maupun nilai gagasannya dan bukan dilihat dari sudut pandang ilmiah sebab tentu metode dalam membuat artikel opini dengan artikel ilmiah pastilah berbeda. Sebuah artikel opini pada umumnya berdasarkaan pengamatan atas sebuah objek atau fakta atau berangkat dari fakta, sedangan artikel ilmiah pada umumnya berdasarkan metode penelitian.

Kersimpulan

1.Artikel opini titik beratnya adalah pengamatan dan estimasi yang tingkat kebenarannya terletak pada argumentasi dan penalaran .

2.Artikel  ilmiah titik beratnya adalah penelitian berdasarkan metode ilmiah yang tingkat kebenarannya ditentukan oleh hasil daripada pembuktian secara empiris.

Hariyanto Imadha

Penulis kritik pencerahan

Sejak 1973

Read Full Post »

Gambar

SAYA menjadi penulis aktif sejak 1973, mulai dari penulis cerpen, novel, surat pembaca, artikel dan lain-lain. Sebagian besar merupakan opini, gagasan atau usul. Masalahnya adalah, seringkali ada yang mengira tulisan saya itu tulisan ilmiah murni, tuduhan atau semacamnya sehingga banyak yang berkomentar ” Apakah tulisan Anda berdasarkan bukti-bukti?”. Jelas, mereka tidak faham apa artinya sebuah “opini”.

Definisi opini

1.”Opini (Inggris: Opinion) adalah pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan dan kebenaran atau kesalahannya serta tidak dapat langsung ditentukan misalnya menurut pembuktian melalui induksi. Opini bukanlah merupakan sebuah fakta, akan tetapi jika di kemudian hari dapat dibuktikan atau diverifikasi, maka opini akan berubah menjadi sebuah kenyataan atau fakta. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Opini).”

2.Pengertian opini

Saya punya pendapat sedikit berbeda dengan definisi di atas:

-Opini bisa saja berdasarkan informasi , tetapi ditafsirkan oleh penulis dari sudut pandangnya sendiri (bisa secara subjektif dan bisa juga secara objektif)

-Opini bisa merupakan sebuah ulasan, analisa, pemikiran atas sebuah informasi baik berupa peristiwa maupun bukan peristiwa

-Opini bisa berbentuk kritik, saran/gagasan atau  penilaian

-Yang pasti, opini adalah pendapat pribadi dan tidak berkewajiban untuk membuktikan benar tidaknya opininya sebab opini bukanlah tuduhan atau dakwaan

-Opini tidak selalu harus dibuktikan, apalagi secara ilmiah

-Opini boleh dikatakan sebagai pendapat yang bersifat sementara yang boleh dipercaya boleh tidak dipercaya, bisa merupakan kebenaran maupun ketidakbenaran

-Opini adalah wilayah logis atau tidak logis

Semoga bermanfaat

Hariyanto Imadha

Pengamat perilaku bahasa

Sejak 1973

Read Full Post »

Gambar

ORANG Indonesia itu terbiasa menggunakan istilah tanpa mengetahui apakah kata yang digunakan itu benar ataukah salah. Pokoknya ikut-ikutan saja. Orang lain menggunakan istilah tersebut maka orang lainpun ikut-ikutan menggunakan istilah tersebut sehingga kesalahannya bisa bersifat nasional.

Difabel, Difable

Di berbagai media online maupun offline, penulis sering menemukan istilah “difabel” atau “difable”. Bahkan konon sudah menjadi nama sebuah organisasi lengkap dngan kop surat, papan nama, stempel dan lain-lainnya. Maksudnya tentu “penyandang cacat fisik”.

Tidak ada di kamus

Tetapi manakala penulis mencari istilah “difabel” atau “difable” di kamus, baik lokal maupun internasional, terutama di Exford Dictionary maupun Webster Dictionary, ternyata penulis tidak menemukan istilah tersebut.

Daripada asal mula istilah “difabel” atau “difable” ?

1.Penulis mencoba menganalisa, kenapa istilah “difabel” atau “difable” digunakan selama bertahun-tahun. Hasil analisa penulis, istilah tersebut besar kemungkinan bersal dari dua kata, yaitu “different” dan “ability” yang kalau digabung berarti “different ability” yang artinya “kemampuan yang berbeda”. Kenapa, karena penyandang cacat memang mempunyai ke

Karena istilah “ability” dekat artinya dengan kata “able” yang berarti “dapat”, maka bisa jadi kata “different ability” digabungkan menjadi  “difable” yang kalau menurut lidah Indonesia berbunyi “difabel”.

2.Istilah “disable”

Kemungkinan kedua, ada yang mengucapkan kata “disable” atau “disabel”. tetapi karena salah dengar atau kurang dengar, maka seseorang mendengarnya seperti kata “difabel” atau “difable” dan digunakan banyak orang hingga sekarang.

Yang benar “disable”

Kalau kita cari di berbagai kamus, maka yang benar adalah istilah “disable” yang artinya “penyandang cacat”,”lumpuh” dan semacam itu. Kata “disable” atau “disability” sama-sama benarnya dan boleh digunakan. Kalau menggunakan lidah Indonesia, maka istilah itu boeh “diindonesiakan” sebagai istilah “disabel” atau “disabilitas”. Inilah istilah yang benar sesuai dengan berbagai kamus, terutama kamus-kamus bertaraf internasional.

Sumber gambar: en.wikipedia.org

Hariyanto Imadha

Pengamat perilaku berbahasa

Sejak 1973

Read Full Post »

Gambar

PENULIS tertarik dengan salah satu komen di Facebook yang mengatakan kalau ada oknum Brimob mau jadi backing perusahaan karena dia dibayar, maka itu dikatakan “wajar”. Tapi kalau ada oknum Brimob mau jadi backing perusahaan, itu “tidak wajar” karena itu bukan tugas Brimob. Kalau begitu, wajar itu yang bagaimana?

Apakah definisi wajar?

Beberapa definisi mengatakan, bahwa wajar adalah sesuatu hal yang sudah seharusnya, sudah selayaknya, memang harus begitu. Kalau dibalik, kalau tidak seharusnya begitu, maka akan dikatakan tidak wajar. Jadi, kriteria wajar adalah sudah seharusnya.

 Apakah sesuatu yang sudah seharusnya itu wajar?

Ternyata, sesuatu yang seharusnya belum tentu wajar.

 Misalnya:

Orang yang melanggar norma sosial, norma hukum dan norma agama dianggap tidak wajar.

Contoh:

Seorang PNS yang melayani masyarakat adalah wajar, sebab itu sudah seharusnya. Tetapi karena dia memungut pungli, maka itu tidak wajar karena melanggar norma-norma sosial. Artinya, menerima uang pungli karena jasanya mendahulukan proses layanan dibandingkan orang lain adalah melanggar hak orang lain.

Kriteria wajar

Bisa ditarik kesimpulan bahwa kriteria wajar adalah sesuatu hal jika tidak melanggar norma,terutama borma sosial, hukum dan agama.

Apakah oknum Brimob yang menerima uang karena menerima bayaran termasuk wajar?

Ternyata tidak wajar dengan alasan:

-Tidak layak menjadi backing (dibayar ataupun tidak dibayar) sebab tidak seharusnya anggota Brimob menjadi backing perusahaan karena melanggar norma sosial dan norma yang berlaku di interen Brimobyang berlaku di masyarakat.

-Menjadi backing perusahaan maupun perorangan bukanlah tugas, fungsi maupun  peranan Brimob.

-Dibayar atau tidak dibayar bukanlah ukuran kewajaran dan ketidakwajaran.

Kesimpulan

Jika ada anggota Brimob menjadi backing perorangan atau perusahaan, dibayar maupun tidak dibayar,merupakan hal yang tidak wajar karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam kaitannya dengan fungsi, tugas dan peranan Brimob..

Hariyanto Imadha

Pecinta Ilmu Bahasa

Sejak 1973

Read Full Post »

Older Posts »